Skripsi adalah istilah yang digunakan di Indonesia untuk mengilustrasikan suatu karya tulis ilmiah berupa paparan tulisan hasil penelitian sarjana S1 yang membahas suatu permasalahan/fenomena dalam bidang ilmu tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku.
Skripsi bertujuan agar mahasiswa mampu menyusun dan menulis suatu karya ilmiah, sesuai dengan bidang ilmunya. Mahasiswa yang mampu menulis skripsi dianggap mampu memadukan pengetahuan dan keterampilannya dalam memahami, menganalisis, menggambarkan, dan menjelaskan masalah yang berhubungan dengan bidang keilmuan yang diambilnya. Skripsi merupakan persyaratan untuk mendapatkan status sarjana (S1) di setiap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang ada di Indonesia. Istilah skripsi sebagai tugas akhir sarjana hanya digunakan di Indonesia. Negara lain, seperti Australia menggunakan istilah thesis untuk penyebutan tugas akhir dengan riset untuk jenjang undergraduate (S1), postgraduate (S2), Ph.D. dengan riset (S3) dan disertation untuk tugas riset dengan ukuran yang kecil baik undergraduate (S1) ataupun postgraduate (pascasarjana). Sedangkan di Indonesia skripsi untuk jenjang S1, tesis untuk jenjang S2, dan disertasi untuk jenjang S3.
Permasalahan
Penghapusan atau mempertahankan penulisan skripsi bagi mahasiswa S1, masing-masing mempunyai argumentasi yang rasional. Fenomena menunjukkan bahwa skripsi sudah dapat dipesan pada biro jasa pembuatan skripsi, walau keberadaannya masih sembunyi-sembunyi. Jika memang sudah seperti itu, buat apa skripsi diharuskan. Banyak mahasiswa memiliki skripsi tetapi bukan produk kemampuan berfikir mereka. Ini berarti hanya sekedar menambah beban yang sama sekali tidak membawa manfaat ilmiah bagi yang bersangkutan. Fenomena lain menunjukkan mahasiswa bisa drop-out karena tidak mampu menulis skripsi. Apakah mahasiswa harus gagal karena ia tidak mampu membuat sendiri? Sementara yang bersangkutan sudah menyelesaikan beban studi lebih dari 140 Sks. Pada dasarnya, jika mahasiswa sudah menyelesaikan sebagian besar beban mata kuliah, penulisan skripsi tidak adalagi masalah. Dalam dilema seperti ini, PT harus konsisten dengan tugas utamanya sebagai institusi mencari, menemukan, mengembangkan dan sosialisasi kebenaran.
Percakapan tentang wacana penghapusan skripsi (SIB 6 Juli 2015 h.19) merupakan perdebatan tentang konsistensi perguruan tinggi (PT) sebagai pusat studi menemukan kebenaran. Bagi mereka yang setuju penghapusan skripsi lebih cenderung melihat bahwa pusat studi agar lulusan dapat menyelesaikan tugas-tugas dalam kehidupan, terutama yang bersifat empiris kuantitatif. Pendekatan ini mengutamakan penalaran pragmatis. Mereka yang setuju mempertahankan skripsi melihat bahwa lulusan PT harus mampu menemukan sendiri kebenaran sebagai landasan membangun kehidupan. Pendekatan ini cenderung secara terus menerus mencari dan menemukan kebenaran menuju kebenaran esensi (hakiki) yang tidak batasnya yakni kualitatif spiritual. Persoalannya ialah menghapuskan skripsi tanpa alternatif yang lebih berkualitas bisa diartikan bahwa PT sedang mengalami kemunduran (set-back) standar ilmiah dan terjebak kepada hal-hal yang bersifat kuantitatif materialistik.
Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah bisa dikategorikan menjadi tiga tingkatan yakni ilmiah praktis, ilmiah keilmuan dan ilmiah esensi. Kaum awam yang bukan masyarakat PT boleh saja kurang akrab dengan pengkategorian ini. Walaupun dengan otodidak pengkategorian ini bisa dipahami. Boleh jadi ada yang beranggapan kalau sudah logis menurut penalaran, itu dianggap sudah benar. Sayangnya, jika masyarakat PT kurang akrab dengan pengkategorian kebenaran ini, boleh jadi itulah yang mendorong mereka untuk menghapuskan skripsi sebagai persyaratan bagi mahasiswa S1, apabila tidak memberi alternatif yang lebih tinggi kualitasnya.
Kebenaran Keilmuan
Kebenaran keilmuan dicari melalui logika penalaran teoretis, dan pembuktian secara empiris, disebut penalaran empiris (empirical reasoning). Kebenaran ini dipikirkan secara teratur, dengan sadar dicari, berguna untuk kehidupan sehari-hari baik untuk jangka pendek dan jangka panjang, menggunakan metode tertentu, ada sistem di mana hasilnya disusun secara teratur dengan sistematika tertentu. Jujun Suriasumantri mengatakan bahwa semboyan kebenaran keilmuan adalah "Yakinkan secara logis dengan kerangka teoretis ilmiah dan buktikan secara empiris dengan pengumpulan fakta yang relevan". Ciri khas kebenaran keilmuan adalah, obyektif, sistematis, empiris, analisitis, dan verifikatif. Kriteria kebenarannya koheren, koresponden dan pragmatis. Inilah yang disebut penalaran empiris. Artinya kebenarannya didukung oleh teori, fakta empiris dan bermanfaat baik untuk kehidupan sehari-hari maupun menambah khasanah ilmu pengetahuan. Skripsi merupakan hasil penalaran empiris. Mahasiswa dilatih berfikir rasional, sistematis, obyektif berdasarkan fakta empiris, analitis dan verifikatif. Kemampuan berfikir seperti inilah yang seharusnya sudah dimiliki oleh lulusan S1.
Kebenaran Esensi
Kebenaran esensi merupakan kebenaran yang sedalam-dalamnya, dengan jalan pemikiran yang mendalam atau menggunakan pikir murni sehingga melampaui batas pengalaman empiri. Kebenaran ini dengan sadar dicari, sedangkan obyeknya adalah segala yang ada dan yang mungkin ada. Kebenarannya mendasar dan menyeluruh. Ciri kebenaran esensi ini tidak hanya ciri kebenaran pragmatis dan kebenaran keilmuan tetapi juga suprarasional dan intuisi. Suprarasional maksudnya lebih daripada rasional karena sudah mengandung nilai-nilai kahidupan. Misalnya, seseorang membutuhkan rasa hormat sekalipun ia tidak pantas mendapatkannya. Secara rasional ia tidak pantas mendapatkan rasa hormat, namun secara suparrasional semua orang pantas dihormati. Intuisi artinya melibatkan nurani menemukan kebenaran. Antoine de Saint mengatakan "Dengan mata hati-lah kebenaran terlihat, hal-hal penting tidak tampak di mata" Dalam kontek seperti ini kebenaran ditemukan dari tiga kawasan yakni three H head, hand and heart. Kebenaran tidak hanya ditemukan melalui pikiran (head) dan perbuatan (hand) tetapi juga landasan kehidupan yakni hati (heart). Suprarasional dan intuisi disebut dengan penalaran kontemplatif (contemplative reasoning), karena sudah melibatkan head, hand and heart. Untuk sampai pada tingkat penalaran kontemplatif, dimulai dari penalaran pragmatis, penalaran empiris untuk kemudian sampai pada penalaran kontemplatif. Humanisasi dalam kehidupan membutuhkan kebenaran esensi. Suparlan mengatakan bahwa "Dengan kebenaran esensi suatu mahluk bisa manusiawi. Manusia hidup dengan kebenaran esensi. Kebenaran esensi adalah ciri khas manusia. Skripsi secara formal belum sampai kepada kebenaran esensi. Dalam pendidikan formal kebenaran esensi dapat dikembangkan melalui disertasi. Sedangkan tesis ada di antara skripsi dan disertasi.
Kebenaran Praktis
Kebenaran praktis mengandung kebenaran, ditemukan melalui penginderaan dengan penalaran pragmatis (pragmatical reasoning). Ia ditemukan secara kebetulan, tanpa menggunakan metode tertentu, biasanya berguna dalam kehidupan praktis. Setiap orang dapat melakukannya, untuk kepentingan hidup sehari-hari. Kebenaran praktis ini berlaku hanya untuk lingkup kecil, sangat terbatas. Artinya untuk kasus tertentu bisa dianggap benar, namun untuk lingkup yang lebih luas bisa tidak benar. Ia bisa benar dalam jangka pendek, tetapi tidak untuk jangka panjang. Contoh, memesan penulisan skripsi dapat membantu menyelesaikan studi, bisa benar untuk diri sendiri. Namun penalaran seperti ini akan membawa kerusakan, pemeliharaan tatanan akademik di PT. Dalam jangka pendek bisa benar tetapi merusak kepribadiannya selama hidup, sebab ia merasa jalan pintas dianggap pantas, sehingga untuk kehidupan yang berbeda ia cenderung menempuh jalan pintas. Kriteria kebenaran pragmatis, ialah dapat menyelesaikan persoalan atau tugas-tugas dengan mudah, dan cepat.
Lulusan S1 seyogianyalah memiliki kemampuan dengan penalaran empiris berdasarkan teori dan fakta empiris, sistematis, obyektif, analitis dan verifikatif untuk menemukan kebenaran keilmuan. Kemampuan berfikir ini merupakan landasan utama untuk kelak mampu berfikir dengan penalaran kontemplatif untuk menemukan kebenaran esensi.
Kewajiban menulis skripsi untuk mahasiswa S1 dianggap merupakan keharusan. Jika ada alternatif lain yang kualitasnya lebih tinggi dari skripsi, cara itupun dapat ditempuh. Akan tetapi, penghapusan skripsi merupakan langkah mundur, jika penyelesaian studi hanya dalam bentuk beban mata kuliah, atau tugas-tugas praktikum.
Penulis : Guru Besar Ilmu Pendidikan FIP-Unimed Medan
Sumber : http://hariansib.co/